August 04, 2004

Di Bawah Kelamnya Senja Jakarta, Aku Tiba

 

Kamis, 22 Juli 2004
Gambir, 05.25 pm

Gedung-gedung menjulang tinggi. Aku duduk diam mengamati mereka satu persatu bergerak dari depan ke belakang dari jendela. Gerakannya cepat sekali, ketika satu gedung telah terlewat ke belakang, mataku ganti memilih gedung lain untuk dinikmati.
Inikah Jakarta kota yang kaucinta?
Cahaya senja mengintip malu-malu dari balik salah satu gedung. Kedua kali aku memperhatikannya baru aku menyadai warnanya... merah jambu?
Indah sekali, apakah kau juga memandangi matahari senja yang sama yang sedang kupandangi ini? Rona jingga memancar di angkasa, bercampur dengan kelabunya langit Jakarta. Selalu saja begitu setiap aku tiba, mungkin karena aku selalu berangkat siang karena susah bangun pagi-pagi.
Gedung-gedung bergerak melambat, dan semakin lama tambah semakin lambat, lalu berhenti. Di tempat ini hampir tidak ada sinar senja lagi, atapnya tertutup. Hanya sedikit saja yang berhasil lolos muncul dari jendela-jendela stasiun yang memang bolong.
Akhirnya aku tiba, di bawah kelamnya senja Jakarta.
Keretaku telah berhenti sepenuhnya. Para portir masuk menawarkan jasa angkut barang untuk penumpang yang keluar. Aku masih duduk menikmati pemandangan ini. Buat apa buru-buru, toh pintu keluarnya cuma dua, depan dan belakang, dan itupun sangat penuh dengan penumpang-penumpang keluar dan portir-portir masuk.
Beberapa menit kemudian kugendong tas dan bawaanku lalu keluar. Tidak kuacuhkan portir-portir yang mencoba menawarkan bantuan. Semuanya masih bisa kubawa sendiri, walaupun aku membawa sebuah tas gendong di punggung, tas selempang yang lumayan penuh, plastik berisi empat kotak pisang molen buat oleh-oleh Tante di tangan kiri, dan plastik hadiah ulang tahunmu di tangan kanan. Di luar, aku berjalan menapaki tangga turun, menuju pintu keluar Stasiun Gambir.
Uugh, kenapa aku mau merasakan udara ini lagi?
[Karena kamu tentu saja]
Kuberhenti di selasar depan, menoleh-noleh ke kiri dan kanan sambil berjinjit, agar lebih kelihatan.
Di mana mereka?
Jauh di sebelah kiri, aku melihat Tante dan Amel berlari-lari kecil.
Dasar, masih saja suka ngaret.
Aku berjalan ke arah mereka. Jarak kami masih sepuluh meter ketika mereka berteriak sambil ketawa-tawa,
“Eh, itu Ona!”
saat baru menyadari kehadiranku akibat penampilan yang menjadi jauh berbeda.
Tiga tahun sebenarnya singkat, tapi aku merasa sudah sepuluh tahun tidak bertemu mereka.
Kata mereka:
“Kamu tinggi sekali.”
“Udah nggak jerawatan lagi.”
“Tambah cakep.”
Yeah.
Aku hanya tersenyum, mencium pipi Amel, lalu cium pipi kanan dan kiri Tante.
“Tante tambah kurus.”
“Oh ya? Masa? Padahal Tante ga pernah olahraga kaya Mama kamu, haha.”
Tante sedikit tersanjung sepertinya.
...maksudku bukan begitu, Tante, aku kasihan melihatmu. Membesarkan dua anak seorang diri tidaklah menyenangkan, tapi kau selalu mencoba bersikap tegar dan pasrah kepada Tuhan.
Aku melebarkan senyumku.
“Yuk kita ke mobil, “ kata Tante.
Aku berjalan mengikuti mereka berdua dari belakang.

* * *

Jalan raya, 06.01 pm

“Ini sekarang dimana?”
“Sekarang kita lagi mau sampai di jembatan Tomang.”
“Oh...”
Bukankah rumahmu di Tomang? Saat ini kita dekat sekali walaupun masih jauh.
Tante terus mengoceh tentang Andrew dan Amelia yang keduanya berkuliah di Trisakti. Kata-kata itu hanya lewat begitu saja di kepalaku. Perhatianku hanya tertuju pada jalan yang sebentar lagi akan berubah dari senja menjadi malam.
Aku tidak mengerti betapa begitu mencintainya kau dengan kota ini..
Bagiku, yang bisa kurasakan hanyalah... emosi.
Jalanan macet, orang-orang pada pulang kerja, mobil kami merayap di jalan panjang entah dimana ujungnya.
Tidakkah kaurasakan kota ini sangat panas, karena emosi? Amarah, frustasi, cemburu, kesal, kecewa, putus asa, semua emosi negatif itu terlalu banyak berkumpul disini, Sayang.
Para ahli mungkin bilang kalau panas bisa membuat orang emosi. Tapi aku menolaknya mentah-mentah. Aku bisa merasakan kalau kota ini panas karena emosi. Entah kenapa aku bisa merasakannya.
Kamu terlalu terbuai dengan gedung-gedung yang indah itu, Sayang, semuanya memang bisa menerlenakan kita.
Tapi kini aku kembali lagi kesini, karenamu.
“Gimana kabar Mama di Bandung?”
Pertanyaan Tante tadi membuatku bangun dari lamunku.
“Oh, baik-baik saja, Tante.”
“Baik-baik saja ya...”
Mobil berjalan lambat. Di depan ada pembuatan jalan layang baru, pantas saja macet.
Lalu di pikiranku terbayang dirimu, masih berkata,
aku cinta Jakarta...

* * *

<< Home