August 05, 2004

Kepulangan

 

Aku baru tiba di stasiun setengah jam sebelum kereta berangkat. Walaupun begitu, aku masih saja merasa cemas ketinggalan kereta, takut kalau saja jamku yang terlalu lambat meskipun aku yakin waktu yang ada disitu sudah sama dengan waktu nasional versi RCTI yang biasa diputar pada waktu acara Nuansa Pagi.
“Baik-baik ya di Bandung, Tuhan memberkati,”
Tante mencium pipiku.
“Iya Tante, aku langsung naik saja, sebentar lagi berangkat keretanya.”
“Baik-baik ya, Na!” kata Amelia.
Aku hanya memandangnya lekat, lalu tersenyum.
Aku berbalik dan menapaki tangga. Dari atas masih bisa kulihat mereka mencoba mencari-cari dimana aku berada diantara tubuh orang-orang ini. Sayangnya mereka tidak bisa menemukanku.
Selamat tinggal, kalian bertiga.

* * *

Kuperiksa lagi tiketku dengan teliti.
Gerbong satu, ini dia. Kursi... 6D. D? Sebelah jendela lagi rupanya.
Aku berjalan menuju kursi nomor 6D seperti yang tercetak di tiket. Kunaikkan dulu barang-barang bawaanku ke tempat bagasi di atas kursi lalu duduk.
Huff, panas sekali.
Aku meletakkan backpack model army itu ke bawah kursiku dan mengeluarkan botol Aqua dari dalamnya lalu melepas dahaga dengan beberapa teguk air.
Hmm... sepertinya masih setengah jam lagi, kalau jam handphone ini tidak salah. Kalau tidak salah berarti benar, tapi apa iya penanda waktu ini benar? Siapa tau benar versi stasiun ini lain lagi.
Aku ingin turun sebentar membeli majalah FHM. Foto model-model dalam balutan lingerie itu benar-benar adalah foto yang sempurna, penuh dengan racun yang menebarkan pesona. Aku tidak yakin apakah aku bisa menghasilkan foto-foto seperti itu yang tetap menyimpan cita rasanya tersendiri, sebuah kelas yang sangat jauh di atas foto model dengan bikini yang ada di tabloid-tabloid murahan itu.
Ah sudahlah, lagipula kiosnya jauh. Malas aku turun-naik bolak-balik kios-kereta.
Aku duduk saja di dalam. Kursi di sebelahku masih kosong. Entah siapa orangnya, tapi kuharap dia berpenampilan baik-baik agar paling tidak aku tidak merasa tidak betah disebelahnya.
Aku melihat ke luar jendela. Orang banyak lagi duduk, entah menunggu, ditunggu, menunggu dan ditunggu, atau hanya sekadar duduk.
“Iya, disini,” suara seorang wanita datang dari kananku.
Aku menoleh.
Ia duduk di sebelahku. Kuduga usianya sepantaran denganku kurang lebih. Seorang lelaki meletakkan tasnya di tempat bagasi. Mungkin pacarnya, walau lebih kelihatan sebagai adiknya. Mereka lalu keluar lagi.
Ah biarlah, biarkan pasangan itu bermain cinta dengan perasaan mereka sendiri, perasaan sayang melepas seseorang pergi dari sisi.
...
Kenapa kau tidak datang? Apakah karena kau tidak ingin melihatku pergi, atau karena kau tidak bisa saja?
Aku mengeluarkan dua buku Seno dari dalam tasku. Yup, kalian berdualah bacaanku selama tiga jam kedepan. Kuselipkan di jaring-jaring yang sepertinya memang tempat majalah yang menempel di belakang kursi depanku. Kudiamkan saja mereka berdua, aku tidak ingin membaca mereka sekarang. Pandangan mataku tertuju lagi pada orang-orang diluar kereta.
Apa yang kalian rasakan? Apakah juga kalian takut kehilangan?
Baru kali ini aku merasa sayang akan meninggalkan kota yang tidak begitu aku sukai ini. Mengapa aku harus merasa seperti itu?
Lalu aku mengeluarkan hpku, meng-sms-mu.

* * *

Hp itu tetap tergenggam di tangan kiriku.
Aku menunggu balasan darimu tapi tidak ada apa-apa. Tidak ada tulisan NEW MESSAGE yang muncul.

Ah sudahlah, mungkin kau sedang tidur.
Pengumuman kereta berangkat bergema lagi dari speaker-speaker yang tergantung di tiang-tiang stasiun. Sepertinya kali ini kereta benar-benar akan berangkat.
Aku terus memandang hpku.
Wanita tadi melangkah masuk.
Aku terus memandang hpku.
Wanita itu duduk di sebelahku.
Badan kereta mulai bergetar.
Aku terus memandang hpku.

...
Kereta mulai bergerak maju. Wanita itu melambaikan tangannya keluar.
Aku menoleh keluar, ke arah lambaian tangannya.
Laki-laki itu berdiri di luar jendelaku, balas melambai juga.
...
Aku memandang hpku lagi. Kutekan tombol redial.
Tapi sebelum aku melakukannya, hp itu bergetar.
Di layarnya muncul namamu, di layar biru itu.

* * *

“Aku sayang kamu.”
“Aku juga sayang kamu.”
“Daah Sayang...”
”Dah juga Sayang.”
“Dah...”
“Dah..”
Klik.
Kau putuskan sambungan telepon itu setelah entah beberapa belas kali kata “Dah...” yang keluar dari bibir kita masing-masing.
Aku memandang hpku.
Masih hangat. Sehangat energi listrik yang berubah menjadi panas.
Wanita disebelahku menyalakan discman lalu mendengarkannya.
Aku tidak lagi memandang hpku, ia sudah berada di saku celana kiri.
Aku memandang keluar jendela. Lalu bersandar di kursi.
Lalu memejamkan mata.
...
Aku tersenyum, ada kau disana.

Gambir, Rabu, 28 Juli 2004
14.15

<< Home