November 19, 2004

Papa, dan Secangkir Teh Manis Hangat

 

17 NOVEMBER 2004, 11.57

Ya, sebentar lagi jam dua belas malam. Sebentar lagi.
Hmmm... entah kenapa tidak terpikir apa-apa. Layar komputer masih menyala di depanku.
Hmm, apakah yang harus aku pikirkan?
...atau bolehkah kalau terus tidak terpikir apa-apa?

*tok tok* Suara ketukan di pintu kamarku.
“Mau nonton bola nggak di bawah?”
Oh, Papa.
“Iya Pa, ntar paling. Matiin aja tv-nya dulu.”
“Buka dulu, ini Papa buatin teh.”
Teh?
“Oh, iya, taruh aja di luar dulu situ.”
Hening sejenak.
*tok tok*
“Ini tehmu, nanti keburu dingin.”
? Dia saja masih berdiri di luar situ?
“Iya, iya.”

Sambil tetap duduk, aku mendorong malas kursi (yang untunglah ada rodanya) ke arah pintu, membuka kuncinya dan membiarkan pintu terbuka. Aku langsung mendorong kembali kursi ke depan komputer. Papa masuk.

“Ini tehmu, mau taruh dimana?”
“Di meja itu saja.”

Papa meletakkan secangkir teh panas di meja. Mataku menatap lekat layar komputer.
Tiba-tiba aku merasa kepalaku ditarik pelan ke samping.

“Selamat ulang tahun ya Nak.. baik-baik ya...” Dia mengelus kepalaku sebentar, lalu menciumnya di ubun-ubun. Mataku masih menatap lekat layar komputer.

Dia keluar. Tidak bisa kulihat tapi bisa terdengar dari suara pintu yang tertutup.
Aku hanya duduk diam dengan mata menatap lekat layar komputer, lama, sebelum kemudian beralih ke secangkir teh panas yang ada di meja. Kuraih, kuhirup sedikit.
Aneh rasanya kalau membayangkan Papa bisa seperti itu. Kami tidak terlalu dekat, bahkan jarang berbicara satu sama lain. Kalau dia mengantarku pergi pun tidak ada suara yang terdengar di dalam mobil kecuali suara radio atau kaset yang sedang dimainkan.
Tapi terima kasih, Pa.

<< Home