January 24, 2005

Dan Turunlah, Hujan

 



Lelaki itu mempercepat langkahnya. Perempuan itu juga. Hujan rintik makin deras mengenai kepala mereka.
Lelaki itu membuka telapak tangan kirinya di atas kepala si perempuan, mencoba melindunginya dari setiap tetesan hujan yang akan hinggap di kepalanya.

Tindakan sia-sia...
Sia-sia? Tidak juga. Ia hanya berusaha melindungi perempuan itu saja.
Hmm... terus bagaimana?

Jalanan sepi mobil. Mereka berdua menyeberang.
Tangan kamu, berat, kata si perempuan sambil berjalan.
Oh, maaf, sahut lelaki yang menekan tangannya ke kepala si perempuan. Sekarang tangannya diangkat sedikit dari kepala si perempuan sambil tetap dibuka lebar-lebar.

Mereka masih berjalan. Hujan tidak lagi rintik dan angin tidak lagi hangat.

Tidak ada kata-kata yang keluar dari bibir mereka yang kelu, semakin kelu pada setiap langkah yang terjejak. Mungkin mereka mencoba memikirkan kata-kata yang indah di kepala mereka. Atau mungkin justru mereka menikmati semua perhatian yang ada pada saat mereka tidak berkata-kata. Mungkin mereka mencoba merekam semua gerak-gerik yang ada daripada kata-kata.

Atau mungkin mereka memang pemalu! Haha.
Aku memandangnya sebentar, mencoba menebak apa maksud tawanya itu.
Tidak, mereka sudah terlalu mengenal satu sama lain, buat apa malu-malu lagi?
Ya sudah.
Baiklah..

Dan setelah langkah yang kesekian ratus kesekian puluh, mereka tiba di depan sebuah pintu.
Mereka meneduhkan diri sejenak dari hujan yang membasahi tubuh mereka. Lelaki itu berdiri menghadap si perempuan. Perempuan itu berdiri menghadap si lelaki.
Kini, mereka saling berhadap-hadapan.
Lalu mereka saling menatap mata-mata yang berwarna cokelat kehitaman itu. Ah, betapa indahnya dulu mata itu, mata yang pernah saling membisik-bisikkan kata cinta dari taman nirwana. Mata yang pernah memercik-mercik api asmara yang tetap menyala di dalam gelap yang paling kelam.
Namun kini tidak ada apa-apa di mata-mata cokelat kehitaman milik mereka.
Semua kenangan telah terkubur dalam-dalam di taman impian.

...kasihan sekali mereka.
...

Tetap mereka diam. Syahdu, mereka sendu. Sejuta keindahan yang ada di dunia inipun tidak akan dapat membuat mereka tertawa lagi bersama.
Lama mereka bertatapan, akhirnya mereka berpelukan. Sempat juga mereka berciuman, berat untuk dilepaskan meski akhirnya semua harus terenyahkan.
Pelukan itu harus terlepas. Bahkan lelaki itu pernah berjanji dia tidak akan melepaskan pelukan itu.

...tapi harus ia lepas, bukan?
Iya, dan stop menyela saya bercerita. Kalau kamu begi..
Okay, okay, lanjutkan saja ceritamu.
...

Perempuan itu membuka pintu, kakinya melangkah ke dalam. Ia berbalik. Lelaki itu masih berdiri di depan pintu, memandanginya semua gerak-geriknya agar ia masih bisa mengingat semua itu bahkan pada saat ia menutup mata.
Perempuan itu tersenyum sedih. Lelaki itu membalas senyumnya dengan menyedihkan pula.

Jadi apakah lelaki itu akan pergi?
Saya bilang, stop menyela saya bercerita!
Hey, okay, tidak perlu marah sebegitunya dong.
..nah,

Setelah mengingat bibir yang pernah mencium hatinya itu, lelaki itu berbalik dan melangkah pergi. Terseok-seok ia meninggalkan rumah itu. Langkahnya terseok-seok serasa kakinya dirantai ke batu.
Hujan semakin deras. Rambutnya sudah basah terkulai lemas. Seluruh pakaiannya malah.
Berjalan ia hingga ke pinggir jalan. Ia berhenti, menoleh ke belakang. Perempuan itu masih ada di situ, berdiri di pintu itu memandangi ia pergi. Ia tersenyum sambil melambaikan tangannya seperti berkata, Selamat Tinggal.
Namun lelaki itu seperti tidak melihatnya. Ia hanya melihat pintu itu sudah tertutup. Namun ia masih bisa melihat senyum perempuan itu. Ia tersenyum sejenak.
Lalu ia berbalik pergi, melangkah menjauhi tempat itu yang mungkin tidak pernah ia datangi lagi. Mungkin.
Perempuan itu memandanginya dari jauh, entah memikirkan apa hanya ia yang tahu. Lalu ia menutup pintu itu.
Dan lelaki itu terus berjalan di bawah hujan. Dirasakannya hujan turun makin deras. Dirasakannya angin berhembus makin dingin. Dirasakannya suara dedaunan yang sudah mulai kuning rontok satu persatu ditiup angin.
Tapi ia tidak peduli dengan itu semua. Ia hanya ingin berjalan melewati hujan, melangkah kemana kakinya mau melangkah, dan berharap juga... berharap petir menyambarnya detik itu juga.

Tapi tidak ada satu petir pun menyambarnya. Yang ia sebut Tuhan-nya masih mau melindunginya. Jadinya ia terus saja melangkah. Entah kemana.

...begitulah kisahnya.
Hmmm, menarik, menarik sekali malah!. Bagaimana kalau kita jadikan film saja?
...film?
Iya, judulnya mungkin “Ratapan Cinta”, atau “Kisah Cinta di Minggu Sore”, atau..
..daripada itu masih lebih baik judulnya “Kesambar Petir” deh.
“Kesambar Petir”? Ide bagus! Tapi biar lebih menjual tetap harus ada kata “cinta”-nya! Kamu tidak bisa menikmati apa-apa sekarang kalau tidak ada cinta di zaman sekarang ini!
...jadi?
Kita juduli: “Cinta Kesambar Petir!”
Aku menepuk jidatku. Harus separah itukah nominasi judul-judulnya?
Jadi bagaimana? Kalau kamu sebagai pencerita punya ide juga boleh kok.
Mmmm, bagaimana kalau “Hujan”? Pokoknya judulnya harus itu!
Lho? Kok “Hujan”? Memang ada apa dengan hujan?
Tidak ada apa-apa kok. Saya hanya suka kata itu. Seperti sukanya saya bermain hujan.

Kamu yakin?
Ya.
Baiklah kalau begitu.
Ia mengambil kertas kosong, mengeluarkan pena hitamnya lalu menulis kata: HUJAN
lalu memasukkan pena dan kertas itu juga ke dalam sakunya kemejanya.
Oh ya, boleh saya menanyakan satu pertanyaan yang terus mengganggu saya dari tadi?
Oh, silakan. Boleh saja.
Apakah ini pengalaman Anda? Sepertinya Anda sangat tersentuh ketika menceritakan hal ini.
Aku hanya tersenyum.
Saya? Bukan. Saya pernah mendengar cerita ini dari seorang teman. Saya hanya menyukainya, itu saja.
Oh, terima kasih atas jawabannya. Bolehkan saya menanyakan satu pertanyaan lagi?
Ya.
Mengapa ranting pohon itu tertancap di kepala Anda?
Oh, ini bukan ranting pohon. Ini tanduk. Saya sudah bilang dari pertama kalau saya hanyalah seekor rusa kutub.
Oh, maaf saya lupa hal itu. Kalau begitu saya permisi dulu.
Tangannya menggantung mengajakku bersalaman. Aku menyalaminya jadi. Aneh rasanya. Kaki depanku memang tidak cocok untuk kegiatan salaman-menyalaman ini.
Oh ya, ini kartu nama saya, kalau ada cerita yang bagus lagi silakan hubungi saja. Semuanya, nama, email, dan nomor hp saya ada disitu.
Oh, baiklah.
..dan nama anda?
...saya tidak bernama, tapi teman saya itu memanggil saya...
Gidds.




<< Home