January 17, 2005

Kebohongan #2

 

“Kamu hanya memikirkan kenapa saya menampar kamu? Kamu lebih memikirkan tamparan itu daripada memikirkan apa yang telah kamu lakukan ke saya? Seperti kamu menyakiti saya dengan berbohong mengenai lelaki lain?
“Kamu tidak pernah memikirkan itu kan? Menurut kamu sekarang saya salah dan kamu benar karena saya menampar kamu? Saya mengaku cara saya salah. Saya minta maaf atas tamparan itu. Dan kamu itu seharusnya berpikir saya tidak akan menampar kamu kalau kamu tidak membohongi saya selama ini.”

Perempuannya memandang sinis kepada lelakinya, lalu berkata,
“Tetap sih, tidak ada pembenaran kamu bisa menampar pacar kamu seenaknya walaupun pacar kamu selingkuh sama orang lain..”

Lelaki itu segera membalas,
“Pernah tidak saya menampar kamu selama ini? TIDAK! Tidak pernah terpikir olehmu kalau misalnya saya menampar kamu berarti kamu sudah jauh keterlaluan? Tidak! Kamu tidak memikirkan itu! Kamu tidak pernah memikirkan kalau kamu sudah menyakiti saya separah itu!”

“Terus kenapa? Kalau saya membohongi papa saya dan saya menyakiti dia, dia akan memaafkan saya dan tidak akan menampar saya sih.” Sebuah pembenaran meluncur lagi dari mulut perempuannya, mulut yang pernah lelaki itu cium, namun sekarang penuh dengan racun berbisa.

“Maaf kalau saya tidak pernah sebaik ayah kamu. Jika saya memberikan kepercayaan kepada ayah saya, dia juga tidak akan mengkhianati saya, dia tidak akan menikam saya dari belakang.”

Lalu perempuannya menyidir sang lelaki lagi.
“Haha, ya sudah. Kamu jangan melakukan hal itu ke pacar kamu nanti ya. Jangan jadi lelaki kasar yang suka menampar wanita ya...”

“Tidaklah, saya tidak akan berpikir seperti itu. Kamu jangan menganggap semua wanita itu sama seperti kamu, kasihan mereka disamakan dengan wanita pembohong seperti kamu..” Lelaki itu balik menyindir.

Perempuan itu diam.

Lelaki itu juga hanya diam setelah itu.
Ah, andai saja kamu tidak membohongi saya. Kamu sudah saling flirting dengan lelaki lain ketika kamu masih bersama saya. Kamu tidak memandang saya lagi saat itu. Saya tidak pernah menyukai orang ketiga. Saya sakit hati karena kamu menikam saya dari belakang, dan kamu juga menyuruh lelaki itu menikam saya juga.

Ah ah, betapa malangnya nasib si lelaki.


<< Home