February 03, 2005

Anak Pantai

 



“WOI!! Ngapain lo bengong aja di situ? Cepetan siniin bolanya!”
Hah? Aku menoleh ke mereka yang sedang memanggilku dari belakang sana.
“Iya iya, bentar. Ini ada orang aneh disini...” Aku kembali melihat ke depan...
tapi tidak ada siapa-siapa.

Lho? Kok? Ke mana perginya orang berkemeja putih yang melemparkan bola ini padaku tadi?

“Kenapa? Lo bilang apa tadi?” Mereka memanggilku lagi, kali ini dengan nada yang tidak sabaran.
Aku diam sejenak. Siapa orang tadi? Dia agak mirip denganku. Bukan, aku merasa dia adalah aku malah. Tapi orang itu lebih tua, mungkin usianya sudah dua puluhan akhir.

Ah sudahlah, mungkin cuma aku yang menghayal. Lagipula tidak ada siapa-siapa di sana. Hanya ada ombak yang semakin ganas dan air laut yang semakin pasang. Aku mengepit bola dalam tangan kiriku. Lalu berlari perlan ke arah pantai lagi.

“Makan nih bola!” Kutendang lambung tinggi-tinggi seperti seorang kiper. Bola melambung jauh ke depan dan segera diperebutkan kembali begitu tiba di atas pasir. Aku hanya melihat mereka dari belakang sini, masih merasa bingung dengan kejadian yang barusan.

“Kenapa lo tadi?”
“Nggak tau. Kayanya ada orang di sana.”

”Orang yang mana?”
“Lo Liat kan, orang yang ngasih gua bola ini tadi?”

”Eh dodol, daritadi mana ada orang di situ! Liat aja cuma kita yang ada di pantai ini.”
“Iya gitu? Jadi siapa dong yang ngelemparin bola itu ke gua lagi tadi?”

”Lo berhalusinasi aja kali. Paling ombak, atau salah satu suruhannya si ratu laut selatan itu, haha...”
”Hmph, yeah right..”

Ah sudahlah, buat apa kupikirkan.
Lagipula bola sudah datang ke arahku. Kurebut ia dari orang lain, lalu kugiring di tepi pantai, jauh, sebelum aku ditackle dari samping dan malah jatuh tercebur ke air.
Puih, asin. Jelaslah, air macam apa yang kau harapkan di sini? Air rasa gula?

Bola terus dimainkan. Sementara entah kenapa aku jadi malas bermain bola lagi.
Jadinya aku tiduran sebentar di pinggir pantai itu. Air kadang-kadang terbawa ombak sedikit membasahi tubuhku.

Langit mendung, tidak ada sunset jingga keunguan sok dramatis sore ini.

[senja yang muram, semuram hatiku]

Kupejamkan mata. Terdengar suara anak-anak bermain bola. Aku masih tidak yakin dengan apa yang kulihat tadi. Benarkah aku melihat diriku sendiri?

Aku menajamkan pendengaranku lagi. Suara mereka terdengar samar. Suara angin dan ombak yang menghantam batu karang masuk telingaku dan berkelana dalam otakku.

[andai saja kau ada di sini, Diva,
akan kubacakan semua puisi cinta yang ada di bumi ini
untukmu,
hanya untukmu...]

buurrr... suara apa itu?
Aku terduduk. Suara yang barusan bukan seperti ombak yang menghantam karang. Ia menghantam sesuatu, tapi bukan karang.
Aku menoleh-noleh mencari-cari kira-kira darimana sumber suara yang kudengar tadi tapi tak kutemukan jua.
...mungkin hanya perasaanku saja.

“Woi! Pulang yuk!” Anak yang terakhir di pantai itu mengajakku pergi. Rupanya anak-anak yang lain sudah mulai kembali ke bungalow satu persatu.
“...okay.”


Aku masih duduk sebentar. Ada benda yang mengapung ke arahku. Benda itu adalah... dasi?

[mirip dengan dasi orang tadi]

"Hey, mau cabut nggak?" Dia berkata lagi.

Dasi itu terbawa ombak pelan, pelan, tapi pasti menuju ke arahku. Ia terhanyut hingga ke darat lalu diam disitu.

? Benar-benar dasi?

Aku sendiri tidak yakin, karena detik berikutnya aku mengedipkan mata, ketika kulihat kembali dasi itu sudah tidak ada.

"...yuk."



<< Home