February 02, 2005

Ombak

 



Aku berdiri di pinggir pantai. Senja ini terlalu muram, tidak ada pemandangan matahari tenggelam seperti yang kuimpikan.

Sia-siakah aku pergi kesini?

Tidak. Aku belum pernah lagi pergi ke pantai sejak aku masih remaja dulu. Kuingat sekali tempat ini. Kenanganlah yang membawaku kembali ke pantai ini.
Pantai yang masih alami, tidak ramai seperti Kuta dan kawan-kawannya di Bali.
Di sini jarang pengunjung malah. Tapi ada sekelompok anak bermain bola di tepi pantai, jumlah mereka belasan. Entah dari mana. Mengingatkan aku.

[aku dulu juga pernah bermain bola di sini]

Aku melepaskan sepatu dan kaos kaki, meletakkan jasku di atas pasir, melemaskan ikatan dasiku, lalu berjalan ke arah pantai. Ah, aku rindu dengan rasa pasir di sela-sela jemari kaki, hempasan ombak, dan bau laut.
Aku terus berjalan dan berjalan ke dalam air hingga air laut itu sudah merendam setengah betis, membuat celana panjang ini terasa lengket di kaki.

[anak-anak itu masih asyik bermain bola di sana]

Ombak mulai keras menerpa, menggoyahkan kakiku. Waktu kecil aku suka berdiri di pinggir laut sambil terus mencoba berdiri melawan ombak yang menerjang tubuhku. Mencoba menjadi seperti batu karang yang tidak tergoyahkan oleh ombak sekalipun.

[Tapi tetap saja sampai sekarang aku masih bisa dihempaskannya]

Bola kaki jatuh di sebelahku, membuat cipratan kecil. Aku menoleh. Anak-anak itu menendang terlalu jauh rupanya. Seorang anak berlari kecil ke arahku. Wajahnya mirip denganku ketika aku masih muda, semua yang ada padanya malah.

Bola itu mengapung-apung. Kuambil dan kulemparkan ke anak kecil tadi. Dia menangkap bolanya, diam sejenak, lalu menunduk. Mengucapkan terima kasih sepertinya. Segera ia kembali ke tengah kawan-kawannya lagi melanjutkan permainan bola yang sempat terhenti tadi.

Aku kembali memperhatikan laut yang ada di depanku. Ombak masih menerpa hingga pinggang, membuatku sedikit tersentak ke belakang.

[anehnya aku menganggap itu tantangan]

Aku terus berjalan ke arah laut. Ombak mendorongku kembali ke pantai. Aku terus melangkahkan kakiku ke depan. Walaupun ombak semakin besar menerjangku ke belakang.

Aku berhenti ketika air asin itu sudah setinggi pinggangku lebih sedikit. Entah berapa lama aku berdiam di situ. Tidak ada suara anak-anak yang bermain bola tadi lagi, mungkin mereka sudah pulang semua, aku malas menoleh ke belakang.

Ku pejamkan mata, mencoba merasakan setiap sel di tubuhku yang lalu bergetar memberi tanda bahaya.

Aku membuka mata, di hadapanku sudah ada ombak bergulung, pecah, dan siap menerjang.
buurrr... detik berikutnya aku terhempas ke belakang dalam gerakan slow motion. Tubuhku terbenam, terapung, dan melayang-layang sebentar di dalam air, untuk kemudian ditarik ombak dan tenggelam...
tenggelam...
dan tenggelam.

<< Home