March 04, 2005

Bantal, Selimut, Ranjang, dan Handuk

 

Brak. Pintu ditutup pelan. Tas jatuh diletakkan.
Hmmm, kamar yang bagus. Tidak seluas yang waktu itu memang, tapi ranjang itu cukup menjanjikan...
Menjanjikan untuk bercinta maksudmu?
Haha, bolehlah kalau itu maumu..
Mauku? Haha, kita lihat saja nanti.
Aku mau mandi dulu kalau begitu. Udara siang ini gerah sekali. Tidak biasanya Bandung sepanas ini di siang hari. Aku menanggalkan T-shirt Gio dan menggantungnya dengan rapi di dalam lemari.
Mungkin karena orang-orang Jakarta sepertiku mulai menginvasi kota kecilmu ini? Kau duduk di kasur, mengamati ruangan dengan teliti. Satu ketidakberesan saja dan kau akan mempertanyakan itu semua. Seperti, kenapa televisi ditempatkan di pojok sana?
Yah, asal kalian cukup tahu diri dengan tidak menambah skyscraper di sana-sini. Aku membuka celana jeans dan membiarkannya tergeletak di lantai.
Apa maksudmu? Kau meraih celana itu dan melipatnya rapi ke dalam lemari ini. Seraya menambahkan, kau tidak pernah mau rapi sejak dulu.
Maksudku, jangan ubah kota Bandung kecilku menjadi kota Jakarta busukmu itu.
Haha, sebusuk-busuknya kota itu aku tetap mencintainya.
Terserah, tapi jangan coba memaksaku menyukainya.
Hei, okay, okay, aku tidak akan memaksamu. Mandi sana, basahi kepalamu, cuci otakmu dulu!
Iya, baiklah.
Pintu kamar mandi tertutup. Suara shower terdengar samar. Kau menyalakan televisi, sementara aku membasuh kelaminku biar wangi.



Acara televisinya tidak ada yang bagus ya?
Iya, tidak ada yang bagus pada jam segini.
Hhhh, aku menghela nafas panjang. Di luar hujan, hujan yang sama seperti hujan yang kemarin dan hujan yang kemarinnya lagi dan yang lebih kemarinnya lagi. Hujan yang menyebalkan. Mengacaukan semua jadwal yang sudah kuatur sejak seminggu yang lalu. Tidak akan ada permainan tenis sore ini. Hujan membatalkannya, seperti yang ia lakukan dua hari yang lalu. Indoor? Tidak, aku lebih menyukai tenis outdoor. Lebih lepas. Lebih bebas. Semua turnamen tenis grand slam berlangsung di luar ruangan. Bahkan lapangan tenis Wimbledon Open dilengkapi dengan penutup parasut yang siap-siap melindungi lapangan rumput itu ketika hujan mulai turun.
Jadi mau kemana kita hari ini?
Tidak tahu.
Oh, ayolah, masa tidak tahu lagi. Lantas buat apa kau datang jauh-jauh dari Jakarta ke sini? Untuk menghabiskan waktu hanya tiduran di kamar hotel seperti ini?
...aku tidak tahu.



Hhhh, aku menghela nafas panjang. Tubuhku terbaring telanjang tertutup selimut putih di atas ranjang putih dengan bantal yang sama putihnya pula. Bantal putih. Selimut putih. Ranjang putih. Sementara tanganku coklat.
Lampu kamar mandi menyala. Terdengar suara shower samar2 di sela suara televisi yang menayangkan acara entah apa. Kau sedang mandi. Menghilangkan sisa-sisa muntahan sperma dari tubuh dan payudaramu. Sementara dari tadi aku mengubah-ubah saluran televisi, mencoba mencari-cari acara yang layak ditonton. Tapi tidak ada. Nihil. Nol. Nol besar.
Jadinya aku menerawang saja, melihat lampu kristal yang tergantung di langit-langit. Ingin aku menyalakannya. Tapi aku lebih memilih lampu meja yang lebih redup. Lebih remang. Lebih sendu. Sambil mengingat-ingat sensasi yang baru saja terjadi antara kau dan aku.
Shower tidak berbunyi lagi. Terdengar suara handle pintu terbuka. Aku melihat ke arah pintu kamar mandi. Kamu keluar dari situ dengan tubuh terbalut handuk putih. Putih. Putih. Bantal putih. Selimut putih. Ranjang putih. Handuk putih. Dan kulitmu juga putih bersih.
Kamu melepaskan handuk itu begitu saja di atas kursi. Lalu langsung naik ke atas ranjang. Oh tidak, tidak ada permainan lagi kali ini. Kami berdua sudah cukup menikmatinya tadi.
Kamu berbaring tengkurap di atas selimut. Aku bisa melihat lekukan-lekukan kaki dan betismu tepat di sebelahku. Sementara kamu sedang meraih remote dan mengubah-ubah saluran televisi. Tidak lebih dari tiga detik setiap saluran kau lihat.
Acara televisinya tidak ada yang bagus ya? tanyamu.
Iya, tidak ada yang bagus pada jam segini, jawabku.

<< Home