March 25, 2005

Pelarian

 



Ah, lagi-lagi hujan yang sama, hujan yang sama seperti kemarin, kemarinnya lagi, dan kemarin kemarinnya lagi. Sementara mobil terus melaju membawaku meninggalkan kota ini, paling tidak bisa tenang dari semua urusan-urusan yang terus memusingkan kepala.
Tapi hujan ini membuat aku tidak tenang. Tidak bisa tenang. Bagaimana bisa tenang kalau sesuatu yang engkau benci terus berada di sekitarmu setiap waktu?
Wahai hujan, aku benci kepadamu!
Heh, sungguh ironis. Hujan datang di saat aku ingin tenang. Ia malah membuat hatiku semakin kacau. Seharusnya aku melihat ramalan cuaca dulu sebelum memutuskan untuk pergi dari kota ini.
Hmph, penyesalan memang selalu datang terlambat. Tidak ada gunanya sekarang, toh hujan sudah turun dan tampaknya tidak akan berhenti paling tidak untuk beberapa jam ke depan.
Apakah sebaiknya aku memutar balik mobilku saja sekarang? Tiba-tiba aku jadi berpikir. Mungkin aku bisa tiduran saja di kamar sambil tidak memikirkan apa-apa. Tiduran saja.
Tapi tidak, telepon rumah pasti akan terus berdering. Sia-sia saja mematikan hp kalau ada telepon rumah.
Kenapa aku jadi bimbang seperti ini? Bukankah pelarian ini sudah kurencanakan sejak dulu? Dan bukankah semuanya seharusnya berjalan sempurna?
Iya, sempurna, andai saja hujan ini tidak pernah turun hari ini. Andai saja..
Hmm, apakah Kau mencoba menghalang-halangiku, Pak Tua? Tidak membolehkanku kabur dari semua ini, eh? Haha, kita buktikan saja nanti. Sekarang tekadku sudah bulat, Kau pun tidak dapat menyuruhku kembali.
Karena aku tidak akan kembali. Tidak peduli hujan yang Kau turunkan ini semakin deras. Turunkan badai saja sekalian. Gempa bumikan saja jalan ini agar hancur berantakan. Tapi kalau benar kau akan melakukan itu, aku akan menghentikan mobilku dan mulai berjalan dari sini.
Hingga aku menghilang dari kota ini. Dan tak perlu melihatMu lagi.
Silakan saja Kau lakukan semua, aku tak peduli.
Tak peduli.

Hingga kau terbalikkan mobil yang kulajui ini, aku tak peduli.

<< Home