April 13, 2005

Surat Cinta Untukmu Malam Ini...

 



Kepada Sayangku, Kekasih hatiku, belahan jiwaku yang berada jauh disana,

Rindu hatiku menggapaimu malam ini. Tapi apa daya kau jauh sekali tidak berada disisiku lagi malam ini seperti malam kemarin dan malam kemarinnya lagi dan malam-malam kemarin-kemarinnya lagi. Entah berapa ratus bahkan ribu kilometer jarak yang membentang diantara kita, jarak itu cukup bisa membuatku merasa pesimis untuk bisa menggapaimu dengan tangan yang bergetar ini karena tak kuasa menahan rindu.
Kalau kupikir-pikir lagi kau malah dekat, dekat sekali di sini. Kau selalu bersemayam di hatiku. Yang kulakukan hanyalah membuka bajuku dan mengintip lewat lubang kunci di pintu hatiku ini. Ingatkah semenjak kau masuk ke dalam hatiku, aku telah menutup rapat-rapat dan menguncinya sebanyak tujuh puluh tujuh kali putaran agar kau tidak dapat keluar dari sana dan tiada juga orang yang bisa memasukinya selain dirimu saja di dalamnya. Lalu kuncinya aku lemparkan jauh ke atas, ke bulan sabit cemerlang yang dari tadi senyum-senyum melihat aku yang mengunci sampai tujuh puluh tujuh kali putaran. Dia pikir aku sudah gila mungkin.
“Hei Bulan sabit yang cemerlang, maukah kamu menyimpan kunci ini untukku agar tidak ada yang bisa mengambilnya lagi, seorangpun termasuk aku?””Boleh saja, tapi kenapa tidak kau berikan saja ke Matahari esok pagi agar kunci itu lenyap terbakar panas tanpa bekas?”
Wah, ide bulan sabit nan cemerlang itu bagus sekali.
“Baiklah kalau begitu, terima kasih atas sarannya!”
Jadinya kunci itu kuselipkan lagi di saku celana, selalu kuraba dari luar untuk memastikan agar ia masih berada didalam sana dan tidak ada seorangpun yang sudah mengambilnya.

Akhirnya aku masuk ke kamar, mematikan lampu dan memejamkan mata, seraya mencoba untuk berlabuh di alam fana. Tapi tanganku tentu saja tetap menggenggam kunci di dalam saku celana.
Tunggu dulu, bagaimana kalau ada yang mencoba mengambilnya ketika aku sedang berasyik-masyuk dengan kamu di dalam mimpiku?
Aku jadi tersadar dan langsung terduduk. Tidak, aku tidak boleh tertidur malam ini sebelum kunci ini berhasil kuhancurleburkan!
Terus aku duduk diam bersandar di dinding sambil mendengar detik jam berdetak sangaaat lambaaat, tiiik taaak tiiik toook...
Satu menit..
Lima menit..
Sepuluh menit..
Belum lewat tengah malam. Aduh, cepatlah subuh.


Oh Sayangku, pujaan hatiku, cinta matiku,

Tidak sabar aku dengan jam ini, jadi aku bangkit dari dudukku lalu mengambil jam itu. Tanganku memutar jarum menit, biar langsung tiba waktu pagi dimana matahari bersinar menyilaukan hingga aku bisa melempar kunci hati ini dan kunci itu lenyap seketika terlebur panas tak berbekas.
Kuputar jarum menit yang terasa berat sekali karena memang begitulah waktu, sangat berharga hingga terlalu berat untuk dibuang begitu saja. Terlalu banyak orang tidak ingin membuang-buang waktunya sedetikpun tapi aku malah merelakan banyak jam-jam yang terbuang demi melihat matahari yang bersinar menyilaukan itu hingga aku bisa melempar kunci hati ini agar bisa lenyap terlebur panas tanpa bekas.

Kuputar jarumnya satu setengah putaran...
Zzzzttt!!!!
Sepertinya waktu memang berjalan lebih cepat dari semula. Aku bisa melihat semut yang sedang berada di lantai dekat kakiku tiba-tiba bergerak secepat kilat dan tiba-tiba sudah ada di dinding atas kamar. Aku juga bisa mendengar suara-suara jalanan yang tiba-tiba seperti pita kaset yang kusut, nyaring, cepat, dan memusingkan kepala orang-orang yang mendengarnya.
Semua ini berarti bisa langsung pagi dan aku bisa membuang kunci ini ke matahari biar lenyap terbakar tak berbekas!

Tiba-tiba terdengar suara sirene-sirene polisi dari jalan sebelum aku memutar waktu lagi.
Krosak krosak, ada yang menghidupkan toa.
“Rumah ini sudah kami kepung! Kami sudah mendapat laporan banyak orang yang merasa dirugikan waktunya sudah banyak terbuang karena Anda seenaknya mempercepat waktu! Sekarang keluarlah dengan tangan di atas, kalau tidak kami yang akan masuk kesitu!”

Aku mengintip keluar jendela dari balik tirai kelambu merah jambu. Pasukan polisi sudah lengkap dari polantas, polwan, polisi berkuda, polisi dengan anjingnya, polisi naik motor Harley, polisi naik tank, polisi bergelantungan di helikopter, polisi bagian administrasi, polisi tidur, polisi ini, polisi itu, polisi-polisi di sana-sini. Semuanya mengepungku.

Otakku bekerja cepat. Pintu belakang, pasti mereka tidak tahu ada pintu rahasia di belakang yang langsung bersambung-menyambung dengan gang-gang yang ruwet bak benang kusut dan tiba-tiba bisa sudah berada di luar kota.

Tanpa pikir lagi aku langsung berlari keluar dari pintu belakang. Tangan kananku masih menggenggam kunci di dalam saku. Baguslah kunci itu masih ada, gawat sekali kalau terjatuh dan ada yang mengambilnya lalu mengeluarkanmu dari hatiku.

Gang-gang itu sunyi dan gelap. Dari sini bulan terlihat setengah tersenyum karena setengahnya lagi sudah tertutup oleh rumah-rumah reot disitu. Cahaya bulan sabit nan cemerlang yang lagi setengah tersenyum itupun sudah cukup untuk menerangkan gang ini agar aku tidak terantuk benda-benda tidak jelas yang bergeletakan dimana-mana.

Lari, terus aku berlari. Brak! Ada suara ribut-ribut jauh di belakang. Tampaknya pelarianku dari pintu belakang sudah ketahuan. Aku harus mempercepat lariku!

Lari, aku terus berlari. Suara mereka masih terdengar di belakang walau makin samar. Di depan aku belok kanan, naik tangga, belok kiri, turun tangga, melompati segerombolan tikus entah sedang menggerogoti apa, turun lagi setelah belok kanan belok kiri lalu dua kali kanan dan tiga kali kiri, agar bisa mengecoh polisi-polisi itu dibelakang.

Setelah kurang lebih setengah jam bermain petak umpet dan lari-larian dengan para polisi itu, aku istirahat sebentar. Kutajamkan telinga, sudah benar-benar sunyi sekarang. Sepertinya aku berhasil mengecoh polisi-polisi itu.

Capainya, aku duduk bersandar di dinding gang yang pengap dan kotor itu. Tangan kananku masih menggenggam kunci yang berada di saku celana. Syukurlah ia masih ada disitu.




Duhai cintaku yang selalu kucinta dan tidak pernah akan tidak kucinta,

Lihatlah pengorbananku demi menjaga agar tiada ada seorangpun yang bisa masuk ataupun kau keluar dari hatiku. Tapi semua yang kuceritakan tadi belumlah semuanya.

Terheran-heran tapi aku langsung bangkit berdiri dan berjalan lagi. Baru sejam lewat tengah malam dan cukup banyak peristiwa yang aku alami.

Ah sudahlah, aku berjalan keluar saja dari gang itu, ingin menikmati udara yang lebih segar daripada gang yang pengap dan kotor.

Rupanya peristiwa aku memutar waktu menjadi satu setengah jam lebih cepat itu sudah lebih dari cukup untuk membuatku jadi buronan. Di jalan-jalan terpampang poster dengan wajahku yang bergaya sedang difoto close-up di setiap lembarannya. Di bawahnya ada tulisan:

PENCURI WAKTU!
BAGI YANG BISA MENANGKAPNYA HIDUP, SETENGAH HIDUP, ATAUPUN TIDAK HIDUP
AKAN DIBERI IMBALAN 1,000,000 KEPING EMAS

Wow, aku dihargai semahal itukah?

Gang tadi berujung di pusat kota yang selalu ramai, tiada pernah menunjukkan tanda-tanda akan mati. Baguslah, keramaian ini juga akan membantu pelarianku. Aku terus berjalan menunduk di dalam keramaian ini agar orang-orang tidak mengenali wajahku yang ternyata ada di poster itu.

“Pencuri waktu! Pencuri waktu! Berita eksklusif tentang pencuri waktu yang mempercepat waktu demi mendatangkan pagi agar ia bisa melemparkan kunci pintu hatinya ke matahari hingga lebur tak berbekas!”
Aku sangka aku ketahuan, syukurlah hanya tukang koran. Wajahku ada lagi di halaman pertama koran Negeri Dewa Post yang memutuskan untuk terbit secepatnya karena berita tentang sang Pencuri Waktu yang menggemparkan seluruh pelosok negeri. Orang-orang sudah bertanya-tanya, orang goblok mana yang mau-maunya membuang berjam-jam waktu hidupnya disaat mereka tidak ingin kehilangan sedetikpun?

Terus aku melangkah. Ah, di depan sana ada gang lagi, mungkin gang itu bisa membawaku jauh ke luar kota dimana tidak ada orang dan yang ada hanyalah kesunyian dan ketenangan malam.
Aku berjalan menepi seraya terus menunduk. Tinggal sedikit lagi sampai gang itu.

“Hey, itu dia! Itu dia si Pencuri Waktu!”
Bodohnya aku, memang kalau menundukkan kepala bisa membuat wajahmu tidak akan terlihat dari depan, tapi akan terlihat JELAS dari bawah. Pengemis itu menyadarinya. Hadiah uang banyak yang bisa membuat dia makmur hingga turunan kedelapan belas tentu saja tidak ingin disia-siakannya. Ia bangkit dan mencoba menangkapku.

Sebenarnya, SEMUA orang mencoba menangkapku. Mereka semua berbalik dan melihatku, lalu melihat poster, lalu melihatku lagi, melihat poster lagi, melihatku sekali lagi, dan setelah cukup yakin baru menerjang ke arahku. Keramaian yang menjadi pelindungku segera berubah menjadi senjata ampuh untuk menangkapku. Semuanya menerjang dari segala arah penjuru mata angin. Dengan segera aku tertimbun di dasar paling bawah.

Uugh, aku susah payah meloloskan diri dari situ. Apalagi dengan tangan kanan yang tetap berada di saku celana. Setelah lepas dari timbunan orang-orang terkutuk itu, aku berlari sebelum semuanya menyadari aku telah tidak ada disitu lagi.

Tapi tentu saja masih ada yang bisa melihatnya.

“Itu dia, lari kesana! Ayo kejar!!”

Mereka masih saja ngotot. Tapi kali ini pemburuku makin banyak. Terus aku berlari sambil berkelit kesana kemari. Ada yang mencoba menyerudukku dari depan layaknya seorang banteng. Dengan anggun bak seorang matador kuhindari gerakannya. Ada yang mencoba menjegal kakiku, alih-alih terjatuh aku malah menginjak kakinya tanpa sengaja. Aku menunduk ketika ada yang meloncat menangkapku. Kerumunan orang-orang ini semakin bernafsu, apalagi melihat aku sudah hampir kabur dari tangan mereka.

Di depan ada tanjakan yang cukup sepi, rupanya semua orang sudah berada di sekitarku di sini. Kuloncati mobil-mobil dan kepala-kepala agar bisa sampai disana. Gila, nafasku sudah mau habis, jantungku mau copot rasanya.

Tanjakan itu curam, susah sekali aku naik tapi mereka juga tidak dapat mendekatiku semudah itu. Kutendang tong-tong sampah dan kotak-kotak pos merah yang segera bergelinding ke arah mereka seperti bola bowling yang siap menerjang sekumpulan pin.

GUBRAK!

Kudengar banyak suara makian, aku tak tahu pasti apakah tong-tong itu berhasil menjatuhkan mereka. Aku terlalu sibuk berlari ke depan demi menyelamatkan diriku agar bisa melempar kunci ini ke matahari biar bisa lenyap tak berbekas ditelan panas.

Huh, capeknya. Masakan aku harus terus berlari-lari seperti ini hingga besok pagi? Kata jam di etalase toko jam itu pagi masih ada sekitar empat jam lagi, sementara kakiku makin capai menggapai-gapai.

Aku melempar pandangan dari toko jam itu kembali ke jalan. Di depanku ada seorang pria bersandar pada sebuah taksi. Tenang ia berdiri di situ, seakan-akan ia tidak peduli akan apa yang telah menmpa dunia, seakan-akan tidak ada sesuatu yang bisa mengganggunya. Ia menghembuskan asap rokok dari mulutnya, melihatku mendekat, kemudian ia bertanya,
“Taksi, Pak?”

[bagian pertama dari sebuah antologi cinta]


<< Home