November 27, 2006

Hujan Tengah Malam

 

Hujan. Akhirnya turun hujan.

Saya tidak pernah bisa bisa menyukai hujan. Hujan adalah peringatan. Hujan adalah sepi yang menekan. Hujan adalah titik dimana semua rasa terlepaskan, terbebaskan turun ke bumi untuk kembali menguap kembali ke awan.

Semalam saya terbangun. Tengah malam. Entah kenapa perasaan tidak enak. Tenggorokan seperti tercekat. Seperti menelan duri. Saya tidak ingat pernah menelan duri sebelumnya, tentu saja, mungkin ini hanya sebuah firasat buruk, pertanda. Pertanda sesuatu, tapi apa? Duka? Suka?

Tidak mungkin suka. Perasaan tidak enak selalu pertanda buruk. Seperti di film atau cerita. Cerita yang tidak selalu berakhir dengan bahagia. Seperti cerita tentang Gadis Ophelia. Mungkin nanti saya akan bercerita tentang Gadis Ophelia, saat ini pikiran saya masih mencari. Mencari alasan mengapa saya terbangun malam ini.

Saya duduk bersandar pada bantal yang bersandar ke dinding pula. Dalam kamar, sendirian. Televisi masih menyala. Tapi suaranya samar. Hanya hembusan nafas terdengar, pelan-pelan pertanda sadar.
Dan hujan turun deras di luar sana, di balik dinding yang memisahkan luar dan dalam. Hangat dan dingin. Memisahkan kita. Memisahkan saya dan kamu, entah dimana.

Saya mencoba mengingat-ingat mimpi apa yang membuat perasaan saya tercekat. Namun tidak bisa ingat. Jangan-jangan memang tidak bermimpi sama sekali. Hingga saya menyadari betapa hujan di luar sana membuat saya menggigil kedinginan. Hingga tubuh saya selimutkan. Hingga perasaan kembali nyaman. Namun tetap saja otak masih membutuhkan alasan. Alasan mengapa saya harus terbangun tengah malam.

Apakah karena hujan?

Hujan. Saya benci kamu, Hujan.

Hujan adalah tangisan. Hujan adalah perpisahan. Hujan adalah kebencian awan yang menolak menyimpan tetes-tetes air dan kemudian dijatuhkan kembali ke bumi.

Dan saya tetap terjaga, entah untuk berapa lama saat itu: satu menitkah, satu jamkah, bahkan satu dasawarsa tak akan terasa bedanya. Jam di atas televisi itu sudah tidak bergerak lagi sejak kapan, saya selalu lupa mengganti baterainya. Ataukah waktu memang berhenti sejak tadi?

Julia.
Julia?
Ada apa dengan Julia?

Telepon tiba-tiba berbunyi. Kejutan. Tengah malam. Membuat penasaran, siapa gerangan yang menelepon saya tengah malam.
Halo?
...Joni?
Julia rupanya.
Ada apa, Julia?
Aku bermimpi, buruk sekali. Entah kenapa mimpi itu datang mengganggu. Aku tidak tahu.
...tenanglah Julia, semuanya akan baik-baik saja.
Peluk aku Joni..
Selalu, Julia..

Beberapa menit kemudian percakapan terhenti. Sendiri lagi. Sepi lagi. Apakah telepon tadi sebuah alasan? Sebuah pertanda? Sebuah jawaban? Jawaban mengapa hujan turun dan saya harus terbangun?

Tidak ada suara lagi selain hembusan nafas yang keluar pelan dan terdengarkan. Juga rintik hujan yang semakin deras mengeras, membuat nafas semakin terdengar tak jelas.

...

Hujan.
Semakin saya membenci dirimu, Hujan...

<< Home