February 25, 2007

hujan, air mata

 

[Uuuu, uuuuu… uuu, uuuuuuu...

Ku berjalan tiada henti tuk memastikan diri

Mencari apa yang terbaik di dalam hati ini… ]

Suara lirih nyanyian sendu terdengar mengisi kekosongan. Ada suara tidak jelas di luar yang segera terkalahkan oleh musik yang sengaja diputar kencang. Kamar yang tadinya sepi kini telah terisi. Terisi namun masih sunyi. Sunyi karena lelaki itu hanya sendiri di dalam ruangan. Diam, terus duduk menatap dinding berwarna krem pucat dan rak-rak yang penuh dengan CD-CD yang entah sudah berapa lama berada disitu.

Lelaki itu masih berada di pojok ruangan. Duduk, diam, dengan kedua kaki terlipat, dengan kedua tangan memeluk kedua kaki, dengan dagu bersandar lemas di atas lutut, dengan tubuh gemetar menahan rasa. Ia tidak bisa menamai rasa itu apa, tidak ada kata yang tepat untuk menamainya. Rasa itu membuat perutnya bergejolak aneh dan membuat ia tidak makan dua hari ini.

Lagu masih terdengar, lagu yang pernah membuatnya gemetar, hampir menangis. Lagu itu telah bisa mengatakan apa yang ada di hatinya untuk perempuan itu, karena lelaki itu bukanlah orang yang pandai berkata-kata. Lucu memang, terkadang lagu bisa menjadi sebuah cara manusia menyampaikan perasaan dalam bentuk kata. Lagu yang indah untuknya, dan untuk perempuannya. Pernah mereka mendengarkan lagu itu bersama di sebuah kamar, lelaki itu mendekap erat tubuh perempuan itu, tak ingin melepaskannya dari dekapan itu. Perempuan itu memejamkan mata, gemetar, takut cinta akan meninggalkannya. Ia berkata lirih, merintih,

[Jangan pernah tinggalkan aku..]

[Tidak, aku tidak akan meninggalkanmu..]

Janji itu terhembus dari kedua bibir yang bercumbu, lalu perlahan terbang menguap dan terukir di langit-langit kamar. Kamar yang kini sepi, tidak pernah lagi perempuan itu datangi.

Kini lagu itu hanya didengarkan oleh lelaki itu sendiri.

[Tak mudah tuk bisa mencari rasa yang telah mati

Namun asa telah menanti di dalam hati ini..]

Hujan turun dengan derasnya di luar. Benarkah turun hujan? Karena lelaki itu sendiri tidak dapat mendengar suara hujan, tapi kesedihannya memaksanya mendengar suara hujan. Kesedihannya memaksa ia untuk menangis, tapi tidak ada air mata yang keluar. Ia ingin mengeluarkan rintihan lirih seorang yang patah hati, namun tidak ada suara yang terdengar.

Tapi hujan benar-benar turun di luar, deras sekali. Ia tidak tahu, ternyata Tuhannya masih memperhatikan. Setiap tetes rintik hujan yang turun adalah air mata yang terwakili, air mata yang tidak bisa jatuh karena lelaki itu takut. Ia takut jika ia meneteskan air mata ia akan tenggelam oleh air mata kesedihannya, hanyut tenggelam, dan melarut di dalam lautan. Lautan yang menjadi asin karena tetesan air matanya.

[Tuhannya mengerti kesedihannya yang begitu besar dan dalam, maka hujan turun dengan derasnya.]

Setiap rintik hujan yang turun adalah kata cinta yang lelaki itu ingin katakan ke perempuan itu, seiring dengan betapa hancur perasaannya. Satu tetes jatuh ke ilalang adalah satu kata cinta yang ingin ia ucapkan ke hati perempuan itu, dan juga satu tetes air mata yang mengalir turun dari pelupuk mata melewati pipi dan dagu lalu jatuh turun membasahi pakaiannya.

Oh, andai saja perempuan itu tahu betapa menyedihkannya keadaan lelaki itu saat ini, akan ibakah ia? Lalu memeluknya?

[Peluklah tubuhku sayang, kesunyian mencekam menikamku pelan-pelan]

Betapa lelaki itu merindukan pelukan sang perempuan, rasanya seperti sudah bertahun-tahun ia tidak merasakannya. Ia selalu menyukai dekapan wanita itu, hangat dan membuatnya selalu bisa melupakan dunia. Lelaki itu memejamkan mata, mencoba merasakan dekapan yang ia cinta, namun kedua tangan yang melingkari punggungnya tetap tiada. Kepala yang bersandar di bahunya juga tiada. Namun ia masih bisa merasakan wangi parfum sang perempuan, juga dengan wangi rambut yang selalu ia cium.

[Kenapa kamu selalu mencium bahuku?]

[Agar ketika aku memejamkan mata, aku masih bisa mencium wangi parfummu, dan bisa merasakan kau ada dekat, di sebelahku..]

Yang ia rasakan hanyalah dingin mencekam, menghujam ubun-ubun kepala lalu turun ke dada dan membuatnya sesak nafas. Susah sekali ia mencoba bernafas, terengah-engah dan membuatnya ingin muntah. Membuat segalanya tampak menghitam...

[Bahkan aku harus berjuang hanya untuk bernafas sekarang..]

Ada suara terdengar. Familiar. Bukan, bukan, bukan seperti suara hujan, nyanyian bulan, atau angin malam yang biasa ia dengar. Lelaki itu terlonjak, samar ia merasakan suara panggilan sayang si perempuan. Cepat ia berdiri, berlari ke arah pintu dan membukanya. Senyumnya merekah untuk kemudian segera musnah. Pintu yang terbuka semua. Lelaki itu berada di bagian dalamnya tanpa perlu ada perempuan di bagian luarnya. Tidak ada siapa-siapa diluar sana.

Kecewa dan lunglai, ia melangkah gontai kembali ke sudut kamar. Kembali duduk termangu. Kembali memeluk kedua kakinya yang terlipat. Ruangan yang lega itu membunuhnya. Tidak pernah begitu jika perempuan itu ada. Lelaki itu memandang ke arah pintu yang masih tertutup rapat, berharap pintu itu akan terbuka dan ia bisa melihat senyum perempuan itu yang mengatakan,

[Aku telah kembali, aku tidak pernah pergi dari sisimu walau sedetikpun, sayang..]

tapi sia-sia, karena pintu itu tidak pernah terbuka. Bahkan imajinasinya tidak bisa berbuat apapun untuk menipu matanya. Tidak ada seorang pun disana. Tidak lagi ada senyum yang ia inginkan. Tidak lagi ada dekapan yang menenangkan. Tidak lagi ada suara yang mengatakan cinta.

Lelaki itu terdiam sejenak. Wangi parfum itu sudah tiada.

Ia memejamkan mata, mencoba membaui parfum itu sekali lagi, namun benar-benar tidak ada apa-apa. Sia-siakah ia berusaha?

Ia mencoba untuk tidak berpikir apa-apa, mencoba untuk menahan air mata jatuh dari pinggiran matanya. Tapi tubuhnya berguncang hebat. Tapi makin susah ia bernafas. Dan tanpa pernah ia sadari, setetes air mata jatuh mengalir di atas permukaan pipi kirinya. Tangan kanannya meraih air mata itu, mencoba menghapus air mata itu dari pipinya. Tapi tidak bisa. Air mata itu terus turun walaupun sudah berusaha ia hapus. Kini di pipi kanannya. Hingga kedua pipi itu basah oleh air mata yang terus mengalir turun tanpa bisa ia hentikan.

[Setiap tetes air mataku mengatakan betapa aku mencintaimu, betapa aku menginginkanmu malam ini, andai saja kau tahu..]

Kemudian malam itu, hujan deras telah berhenti. Tanpa suara, lelaki itu menangis sejadi-jadinya...

<< Home