March 15, 2007

Chika, Chiki, dan Chiko

 


Chika berambut putih dengan sedikit lingkaran oranye di punggungnya. Ia sangat malas. Hobinya adalah tidur. Setiap hari ia tiduran di keset di luar pintu, membuat setiap orang yang ingin keluar tiba-tiba meloncat agar tidak menginjaknya. Jika udara luar terlalu panas, ia menunggu orang membuka pintu, lalu masuk dan tiduran kembali di koridor. Membuat orang yang lewat melihatnya sambil melemparkan senyum kecil kepadanya.

Chiki berambut oranye, dengan strip-strip putih dari kepala hingga kaki. Kakinya berwarna putih, membuat ia seakan-akan mengenakan kaos kaki putih. Sehingga aku memanggilnya Chiki si Kaus Kaki Putih. Ia sangat manja. Selalu saja mengejutkanku karena tiba-tiba sudah berada di bawah meja, sekadar minta sedikit elusan di kepala atau pangkuan di paha.

Chiko berambut abu-abu, dengan mata coklat tua. Ia sangat ingin tahu. Setiap hari ia pergi menjelajahi ruangan untuk bercakap-cakap dengan mesin printer yang terus mengeluarkan kertas dari dalamnya, bermain tepuk-tepukan dengan tirai jendela, dan juga berkejar-kejaran dengan gumpalan kertas yang tidak masuk sempurna saat kulemparkan ke tempat sampah.

Jika sore hari hujan turun, aku membuat teh manis hangat dan duduk di sofa depan sambil menyeruputnya. Melihat keluar kaca, apakah kau merasakan perasaan yang sama?
[Pertanyaan bodoh, tentu saja. Kau benci hujan.]
Aku juga heran, karena aku pernah tidak menyukai hujan sepertimu. Sangat membencinya malah. Tapi justru karena kau perasaanku berubah. Aku sekarang menganggap hujan sebagai sebuah perasaan, perasaan harus melepaskan. Seperti mendung yang harus melepaskan hujan, untuk kemudian kembali cerah dan terang, mungkin benderang. Seperti aku yang harus melepaskanmu, untuk kembali berpikir dan mengerti hidupku, mengerti hidupmu.

Entah kenapa ada perasaan hangat yang tersisa, menyelip sempurna ke dalam hati ketika hujan turun tanpa henti, mengalahkan dingin beku yang meraja dalam suasana. Aku bahagia dengan hidupku kini, bahagiakah kamu? Walaupun ada sebuah rasa yang hilang, orbolan kita selama berjam-jam yang sangat kurindukan. Tidak pernah aku bisa berhenti berbicara denganmu hingga subuh dan pagi akan menjelang. Tapi kini aku sudah terbiasa berbicara dengan hatiku, menanyakan apa kabarnya, dan permainan apa yang akan kami mainkan hari ini. Mungkin akhir pekan aku akan mengajakmu pergi, untuk sekadar bercerita, tentang aku, tentang kamu, atau tentang bulan purnama di malam itu. Tapi mungkin kau sibuk dan tidak punya waktu. Aku juga sibuk dan entah aku tahu apakah aku punya waktu untuk itu. Atau tidak.

Tik. Aku mendengar suara tetesan hujan. Tik. Satu tetes lagi di antara sejuta. Kalau di film-film, adegan ini adalah saat dimana gerakan berjalan sangat lambat dengan suara diheningkan kecuali satu tetesan tadi. Detail wajah diambil super close –up. Saturasi diubah menjadi hitam-putih agar lebih dramatis rasanya.
Apakah kau bisa mendengar tetesan hujan yang sama dengan yang aku dengarkan? Mungkin tidak. Mungkin kau tidak punya waktu untuk mendengarkan suara hujan. Mungkin malah terdengar konyol untukmu. Lagipula kau membencinya. Tidak mengapa. Tapi cobalah sekali-kali mendengarkannya, mungkin kau akan suka.

Ya, hujan ini membuatku melankoli. Tapi aku menikmatinya. Apalagi dengan seruputan teh manis hangat. Dulu kau juga biasa membuatkanku teh manis hangat. Kau tidak tahu takaran gula yang tepat untukku, aku sangat menyukai teh yang sangat manis dan hangat. Tapi tidak mengapa, kau membuatkannya dan untukku itu sudah cukup.

Tapi itu dulu, kini aku hanya sendirian di dalam ruangan. Dan langit masih mendung sejak tadi. Hujan masih turun, entah berapa lama lagi berhenti. Mungkin aku akan terus melamunkan apapun andai saja Chiki tidak mengelus kakiku. Aku menoleh dan melihatnya. Ia menoleh dan melihatku. Kuletakkan cangkir teh dan meraih Chiki. Aku duduk bersila dan meletakkan kucing itu di pangkuan, mengelusnya hingga ia tertidur. Hingga Chika datang. Dan Chiko yang juga menyusul melompat ke sofa. Keduanya ikut naik ke pangkuan dan tidur sementara aku hanya melihatnya tanpa mau melakukan apa-apa.

Entah jam berapa waktu itu, hujan telah usai dan ketiga kucing itu masih ada di pangkuanku. Malam telah tiba, mengajak para pemimpi untuk kembali ke dunia petualangannya. Bintang telah memanggilku untuk bermain dan bulan ingin bercerita tentang kau dan hidupmu yang tidak pernah aku masuki lagi sejak saat aku memutuskan untuk meninggalkanmu walaupun sebenarnya kau yang meninggalkanku.

Kuangkat hati-hati ketiga kucing itu dari pangkuanku, satu-persatu, dan berusaha sebisa mungkin tidak membangunkan mereka (Chika tidak akan bangun, Chiki dan Chiko sempat terbangun namun kemudian tertidur lagi). Aku bereskan meja kerja dan berjalan keluar. Sempat kulihat ketiga kucing itu masih tertidur pulas, Chika mendengkur pelan. Aku dekati mereka dan memberikan masing-masing satu elusan terakhir sebelum aku pulang. Kubuka pintu dan kututup pelan agar mereka tidak terbangun.

Dan disinilah aku, kembali di luar, kembali berhadapan dengan peradaban. Tidak ada lagi dinding yang mencoba mengekang atau mungkin malah ingin melindungi dari kehidupan.


Bintang, Bulan, kemarilah, ada yang ingin aku ceritakan kepada kalian...


<< Home