March 20, 2007

Olivia

 

Dinginnya udara Lembang sudah biasa aku nikmati. Dingin dan menyegarkan hati. Namun kali ini membuatku bertambah mati.
Baru tadi, Minggu pagi ini, satu temanku pergi.

Aku duduk di beranda rumah, menghisap rokokku dalam-dalam sementara mentari pagi masih berusaha mengusir embun yang enggan jatuh dari kelopak bunga, dari urat-urat daun yang menempel di ranting pohon.

Apakah kau sudah terjaga, Olivia?

Tidak ada pembicaraan berdua malam tadi dengan secangkir kopi hangat di tangan kita seperti yang telah kita janjikan sebelumnya. Kau tertidur lebih dulu semalam, dan aku tidak ingin membangunkanmu. Aku hanya bisa menatapmu yang tidur dengan wajah damai, melepas semua bebanmu sejenak, melarikan diri dari dunia tanpa perlu merasa bersalah karena meninggalkannya. Membuat aku hanya bisa tersenyum tanpa perlu berkata-kata. Inginku mencium lembut dahimu sambil ikut tertidur bersamamu, menghangatkan diri dalam selimut dan menjadi hangat karena aku di dekatmu. Tapi berita tiba-tiba ini membuatku insomnia, jadi aku memilih untuk keluar saja dan membiarkanmu tertidur lelap.

Jari telunjukku panas. Rokok yang hampir menyala habis menyadarkan dari lamunan yang hinggap, mengajakku kembali ke dunia. Tidak ada lagi lamunan, khayalan, atau imajinasi. Membuatku harus kembali berpikir dewasa. Walaupun aku tahu aku seorang dewasa yang masih kekanak-kanakan. Tapi aku lebih suka seperti itu, daripada kanak-kanak yang dipaksakan untuk bersikap dewasa.

Aku mematikan rokok itu dan melemparnya ke tempat sampah. Meleset, biarlah nanti aku masukkan kembali. Aku masih memikirkan temanku yang pergi, mengapa harus terjadi. Air mata tetap tertahan, walaupun kesunyian semakin mengajak aku untuk melepaskan. Aku memikirkan pekerjaan yang sementara dilupakan. Sabtu dan Minggu ini aku sudah berjanji kepada diriku sendiri untuk melihat wajahmu, Olivia. Walaupun Jumat kemarin tiba-tiba banyak sekali pekerjaan yang diberikan. Aku sudah bekerja lembur semalam menyelesaikan, hanya untuk paginya (pagi tadi, tepatnya) diberikan pekerjaan baru lagi. Untunglah deadline-nya Senin pagi, aku akan mengerjakannya malam ini setelah kita kembali ke Bandung nanti.

Kepalaku pening. Kenapa aku masih saja memikirkan banyak hal. Padahal aku bisa melupakannya sekarang, sebentar saja. Karena Olivia. Ia sudah bangun dan mendekapku tiba-tiba dari belakang,

Badanmu hangat, kau baik-baik saja?
Jawabanku hanya sebuah senyuman kecil tanpa kata-kata.
Terlalu banyak yang kau pikirkan, adakah yang bisa aku lakukan untuk membuatmu melupakan?
Tidak mengapa, asal kau ada di sini tidak mengapa.

Sisa pagi hari itu terhabiskan dengan dekapan untuk mengusir dingin. Hingga aku masuk dan kembali tidur di ranjang. Aku ingin tidur yang lelap tanpa harus terjaga kalau bisa. Betapa aku merindukan tidurku yang dulu, yang membuatku bangun jam sepuluh atau jam satu.

Dekaplah aku, Olivia, jangan biarkan aku terjaga...


* * *


Bangunlah, sudah hampir tengah malam.

Aku membuka mata, dan melihatmu, Olivia. Dimana aku, hari apa ini, apa saja yang telah aku lewatkan dari bumi. Pertanyaan yang biasa menghantui kini tidak ada lagi.

Sinar lampu temaram dari kamarmu membuat tenang perasaan, mengusir segala kegelapan yang ada di pikiran.

Aku tidak mengira Senin ini aku akan berada disini. Kemarin malam aku sudah tidak tahan, hampir pingsan. Untunglah aku sudah sampai rumah, jadi aku tertidur begitu saja. Kau bangunkan aku tengah malam, karena ada yang harus aku selesaikan, pekerjaan yang tertunda.

Siang tadi kau menjemputku di kantor. Kita pergi makan berdua di Lantera. Harusnya kita pergi berjalan entah kemana, tapi kau memutuskan untuk diam di rumah saja. Panas sekali siang ini dan macet dimana-mana, katamu. Baiklah kalau begitu, kataku, kita menghabiskan hari ini di rumahmu. Aku menceritakan tentang mimpiku tadi pagi, aku dalam sebuah band memainkan lagu The Beatles di gurun pasir,

Tapi kamu tidak menyukai Beatles.
Bagaimana aku tahu, mimpi selalu datang begitu saja tanpa rencana.
Lagu apa?
Aku lupa lagu yang dimainkan, tapi sepertinya salah satu lagu populernya.
...I Will?
Oh, itu dia! Sepertinya lagu itu.
Hmm, itu salah satu lagu favoritku.
Betulkah? Kalau kamu mendengar versi rock ‘n roll-nya, aku sangsi apakah kamu masih menyukainya.
Haha.
Ya, haha.

Kita ke rumahmu. Kita berbicara tentang apapun itu. Aku mengambil gitar dan memainkan lagu untukmu. Kau ikut menyanyikan lagu. Terkadang aku diam dan membiarkanmu menyanyi, sesekali menimpali. Hal yang menjadi lucu, karena lagu-lagu yang telah aku mainkan dan kau juga nyanyikan terdengar di radio kemudian. Kita menertawakan hal-hal yang tidak perlu ditertawakan tapi tetap saja ditertawakan karena menggelikan. Kau menceritakan duniamu, aku menceritakan kisah-kisah dongengku padamu.

Kita makan malam berdua. Kau menyuruhku untuk mencoba bumbu pecel yang pedas itu. Kucicipi dan aku tidak mau, kau hanya tertawa. Aku juga tertawa.
Kita duduk di sofa. Kau menceritakan hidupmu, aku mendengarkannya sambil melingkarkan tangan di bahumu. Televisi yang menyala tidak lagi perlu kita menontonnya. Kau menyandarkan kepalamu di bahuku.

Aku mengantuk, katamu. Lebih baik kita pindah ke kamarmu, kataku. Tapi kau sudah tidak mendengarnya, kau tertidur pulas, dan aku membiarkanmu larut dalam mimpimu.

* * *

Beberapa jam kemudian, aku yang terbangun di kamarmu. Melihat wajahmu yang berada di samping wajahku.

Pekerjaanmu sudah selesai?
Sudah cukup untuk malam ini. Bagaimana denganmu, apakah kau akan pulang malam ini?
Aku tidak mau. Bolehkah aku tinggal disini malam ini?
..kau harus pulang..
..haruskah aku?
...
... aku takut jika aku melangkah keluar dari kamar ini walaupun hanya satu langkah kaki, aku akan menyesal karena aku telah melepasmu pergi.
...

Kau mendekatkan tubuhmu padaku, kudekapkan diriku padamu. Entah kemudian apa yang kita pikirkan saat kita mulai berciuman, sesuatu yang sangat ingin kita lakukan sejak dulu. Sesuatu yang tidak bisa kita lakukan dulu karena kau bersamanya dan aku bersama dia. Sesuatu yang harus kita lepaskan namun kini telah kembali menemukan kesempatan ketika kita menyerah begitu saja pada suasana.

Tidak perlu memikirkan apa-apa karena saat itu yang ada hanyalah kita berdua, kau dan aku, Olivia.

* * *

Bercinta telah usai, ciuman tidak perlu kita lakukan lagi karena telah membekas di hati. Kita diam rebahan memandangi bintang-bintang yang terlihat di langit-langit kamar, tanpa memedulikan lolongan anjing di malam hari. Kau lelah dan tertidur. Pelan aku menarik tanganku dari bahumu agar kau tak terbangun. Aku bangkit dari ranjang, keluar kamar dan duduk di sofa, lalu menyalakan sebatang rokok. Sambil mengingat kata-kata yang termaknakan dalam pembicaraan kita tadi,

Bagaimana jika kau terbangun nanti kau tidak bisa menemukanku? Bagaimana jika semua yang barusan terjadi hanya sebuah mimpi, Olivia?
...aku akan sedih, hatiku hancur berkeping dan mungkin akan mati. Bagaimana denganmu?
Aku akan kembali tidur, mencoba mengejar mimpi itu kembali dan tak ingin terbangun lagi.
[Mata kita saling bertatapan, sambil mengatakan perasaan lewat senyuman]

Kau masih tertidur ketika aku kembali ke kamarmu. Aku kembali naik ke atas ranjang, mendekapmu dari belakang. Perasaan gundah datang dan bertebaran ketika mataku menerawang menjelajahi kamar dan menemukan foto kalian di atas meja. Kalian sedang duduk di sebuah meja, entah dimana, mungkin sebuah pesta atau acara biasa. Namun keduanya bahagia, entah apa yang kalian rasa sekarang.

Kau tertidur pulas dalam pelukanku, ketika aku berbisik lirih di telingamu,

Jangan pernah tinggalkan kekasihmu demi aku, Olivia..


* * *

Handphoneku masih tergenggam di tangan. Mataku masih membaca berulang-ulang, pesan yang kuterima darimu tadi malam,

Aku ingin mengingat malam ini sebagai sebuah cerita, yang dapat kubaca berulang-ulang ketika aku merindukanmu.
Biarkan aku tidur dan memimpikan kisah yang kau ceritakan padaku, biarkan kau tidur dan memimpikanku.
Selamat tidur ksatria-ku..

Maka biarlah kisah ini tersampaikan untukmu, biarlah kau baca kisah ini ketika kau merindukanku. Ingatlah malam itu sebagai kenangan antara kau dan aku, sebelum begitu saja berlalu...


<< Home