March 24, 2007

Rilla

 


Rilla tidak percaya apa yang ia lihat, apa yang ia baca di monitor komputernya yang masih menunjukkan kata-kata yang entah kebenaran atau hanya cerita. Rilla tahu lelaki itu sering menulis cerita, tapi ia tidak tahu apakah itu benar cerita atau bukan: kisahnya begitu nyata. Betapa banyak emosi yang tertumpah di dalam ceritanya, mungkinkah hanya sekadar cerita?

Ia mencoba mengingat wajah lelaki itu, lelaki yang ia kagumi. Lelaki yang cuek dan terkesan tidak peduli; wajahnya malas namun seketika menjadi serius jika mengerjakan sesuatu yang ia sukai. Rilla menyukai keseriusan yang terpancar di matanya dan entah kenapa bisa memancarkan pesona dari lelaki itu. Dan kemudian ia baru tahu ternyata lelaki itu bisa terluka; lelaki yang ia kira kuat selama ini telah menunjukkan tangisannya ketika sahabatnya pergi. Air mata adalah luapan emosi yang tidak pernah bisa tertahankan lagi. Ia baru tahu kalau lelaki yang tidak peduli itu bisa merasa, dan Rilla ikut menangis juga karenanya. Makin bertambah kekaguman dirinya kepada si lelaki. Andai saja..

Namun kini, di cerita yang ia baca, sang lelaki telah mengakui cintanya kepada seorang wanita, Olivia, sahabat dekatnya. Apakah Rilla tahu hal itu? Apakah ia mengira tidak ada apa-apa di antara mereka, ia juga tidak yakin. Ia melihat pertanda, pertanda yang langsung mengabur ketika lelaki itu kembali bersikap tidak peduli seperti layaknya ia biasanya. Ataukah sebenarnya Rilla telah mengetahuinya, tapi mencoba bersikap tidak peduli dan tidak merasa apa-apa?

Namun kini, apa yang ia baca telah menceritakan semuanya. Rilla tidak pernah tahu perasaan mereka berdua sedalam itu, sedalam apa yang telah ia baca. Ia tahu kenyataan tidak akan bisa mempersatukan mereka, tapi mereka tetap mencoba.

Ia menangis, kalut, sedih, benci dan amarah bercampur menjadi satu. Ia tidak tahu apa yang harus ia pikirkan sekarang, haruskah ia membenci lelaki itu dan sahabatnya? Haruskah ia menyerah dan membiarkan saja mereka berdua?

Olivia, katakanlah kepadaku, benarkah cerita itu?
...

Olivia tidak bisa membohongi Rilla. Malam itu, Olivia menceritakan semua kisahnya. Ia menangis. Rilla menangis. Mereka berdua berpelukan sambil sesenggukan. Semuanya karena sang lelaki. Rilla tidak tahu bagaimana perasaannya terhadap sang lelaki, masih haruskah ia kagumi ataukah harus ia benci?
Yang ia tahu hanyalah ia mencintai sahabatnya Olivia dan tidak ingin Olivia terluka. Maka ia memutuskan untuk membenci sang lelaki, dan menghancurkan semua rasa yang pernah ada, semua rasa yang ia simpan dari dirinya untuk lelaki itu.

* * *

Aku membencimu, kata Rilla.

Mereka bertemu kembali. Malam itu ia melihat lelaki itu melintas sendiri dengan headphone besar di kepalanya, memperdengarkan lagu-lagu dari Ipod miliknya, menunjukkan betapa autis dan tidak pedulinya ia dengan dunia.

Ketidakpedulian yang membuat ia terlihat keren sekali dulu. Dulu, sebelum Rilla memutuskan untuk membencinya.

Lelaki itu duduk, membuka laptop, dan mengerjakan sesuatu entah apa. Ya, terpujilah teknologi yang tidak membutuhkan kabel untuk sebuah koneksi. Rilla mengamati lelaki, matanya bergerak lincah menjelajahi layar monitor, tangan kanannya sibuk mengklik mouse dan tangan kirinya mengetik karakter yang ada di keyboard. Sesekali ia mengangguk-anggukkan kepala, menikmati musik yang ada di kepalanya. Sesekali ia melihat ke langit dan langit-langit (lelaki itu memang suka memandang ke atas sana). Sesekali ia meminum mocha latte kesukaannya. Sesekali ia berhenti menatap laptop, dan menatap sekelilingnya, berusaha menerka-nerka: siapa mereka, apa yang mereka lakukan tadi pagi, akan apa mereka malam nanti, semuanya.
Sifat kanak-kanak yang masih menempel pada dirinya, dan itu yang membuat ia berbeda. Lagipula itu lebih baik dari kanak-kanak yang dipaksa dewasa, tanpa sadar bahwa mereka tetap saja kanak-kanak yang melarikan diri dari realita.

Lelaki itu terus memperhatikan sekelilingnya, mengubah perlahan arah pandangan. Hingga akhirnya mereka bertatapan.
Lelaki itu dan Rilla.
Ada hujan yang turun, gunung es yang tiba-tiba muncul dari permukaan ketika mata mereka berdua bertatapan.

Tidak ada kata yang terucap antara mereka berdua. Tapi lewat sorot mata, lelaki itu bisa menebak apa yang Rilla rasa.

Malam semakin larut dan satu persatu orang-orang bangkit dari tempat duduknya beranjak pulang. Mata mereka masih bertatapan.
Lelaki itu melepas kacamatanya, ia tidak pernah suka mengenakan kacamata,
"Kacamata menciptakan batas antara mata dengan mata. Aku lebih suka menatap matamu dan berbicara melaluinya. Lucu terkadang, bagaimana mata bisa menjadi perantara rasa, menembus dalam ke hati melebihi dalamnya samudra..."

Rilla melihat ke dalam kedua bola mata itu sekali lagi. Tapi kini berbeda, ia tetap kuat dengan segala kelemahannya. Ia telah berubah banyak, kenapa, Rilla bertanya-tanya.

Lewat mata itu mereka berbicara.
Aku membencimu, kata Rilla.
...karena aku mengecewakanmu, atau karena Olivia?
...aku tidak tahu, mungkin keduanya. Rilla tertunduk sedih.

Rilla sendiri sekarang, semua temannya telah pulang tapi Rilla memutuskan untuk tidak beranjak dari kursi ia duduk.

Hanya satu-dua orang yang masih duduk di tempat itu, menikmati minuman mereka. Saat itu sudah malam, entah jam berapa. Untung saja tempat itu terus buka. Rilla tidak kuasa, ia menelungkupkan kedua tangan ke wajah, wajahnya ke meja.

Lelaki itu menghela nafas, ia tidak ingin melihat wanita menangis. Ditutupnya setengah laptop itu, bangkit dari kursi dan pindah ke sebelah Rilla.

Rilla sedikit terkejut ketika ia menyadari sebuah tangan menyapa bahunya, lelaki itu menatapnya dekat, tidak jauh, tapi lekat.

Mengapa, mengapa ia?
Kami memang egois, dan merasa perlu jujur kepada diri sendiri sesekali.
Tapi kau tahu ia tidak bisa bersamamu?
...
Berhentilah menghubunginya.
Jika tidak, ia akan menghubungiku juga.
...
...
(hening)
...aku membencimu, semua kekaguman untukmu seketika hilang di mataku, hancur tanpa pernah kau tahu..
...aku tahu semuanya, dan aku menerima kau memikirkan aku seperti itu. Konsekuensi logis dari tindakan yang aku ambil kini.
...
...
(hening)
Jadi apa yang akan kalian lakukan?
Entahlah, biar waktu yang menentukan apa jadinya perasaan.
Tolong jangan menemuinya lagi, kau hanya akan melukainya, dan aku akan terluka juga karenanya..
...maaf, Rilla. Aku tidak bisa menjanjikan apa-apa. Yang aku tahu hanyalah aku sangat egois sekali saat ini.

Dan aku menginginkan Olivia, kata-kata yang tidak bisa keluar begitu saja dari mulutnya, karena ia tahu kata-kata itu akan menyakiti Rilla.

Rilla menangis dalam hatinya. Ia seakan bisa mendengar kata-kata yang tidak keluar dari bibir sang lelaki. Namun ia bisa mengerti, bahwa lelaki itu dan Olivia mempunyai rasa. Rasa yang tidak pernah ia tahu sedalam apa itu. Dan ketika ia tahu sedalam apa samudra, ternyata masih tetap tidak bisa mengukur kedalamannya. Rilla menerawang ke depan, berusaha mencercah sebuah asa, harapan yang tidak sempat terpikirkan. Tapi yang ia lihat hanya meja dan meja, kursi dan kursi, orang lewat sesekali dan tiada lagi...

Kalau begitu, janganlah kau sakiti dia, Joni.


* * *





<< Home