May 15, 2007

Artificial Life, Artificial Friends*

 


Gara-gara kejadian akhir-akhir ini dan juga pertemuan kembali dengan seorang lain yang bernama Albert, membawa pikiran saya bertualang ke masa lalu. Seperti membuka laci dan menemukan mesin waktu, mungkin Doraemon yang meletakkannya disitu. Memulai perjalanan pikiran ke masa lalu.

Saya jadi ingat versi berantem anak SMA (dulu namanya masih SMA): tawuran.
Keroyokan vs keroyokan.

Entah kenapa anak SMA kalau berantem senangnya beramai-ramai. Atau sekarang anak SMP juga sudah ikut-ikutan tawuran? Dasar anak kecil yang suka tawuran.
Saya tidak suka tawuran: bikin macet jalan.

Hal yang membuat saya teringat ketika saya SD dulu, ketika saya bertanya kepada Papa,
"Pa, bolehkah saya berkelahi?" Mungkin saya masih belum bisa memutuskan apakah berkelahi itu sesuatu yang buruk atau baik. Bodohnya.

Papa hanya menjawab, "Kamu terlalu kecil untuk berkelahi, nanti saja kalau sudah besar sedikit."

Jawaban yang tidak memuaskan. Jadi pertanyaan itu selalu saya simpan untuk ditanyakan kembali..


..ketika SMA, pertanyaan sama keluar dari mulut saya,
"Pa, bolehkah saya berkelahi?"

Papa yang lagi membaca koran di teras depan menurunkan korannya dan melirik saya.
"Kenapa kamu harus berkelahi?"
"Ada teman yang punya masalah dengan anak sekolah lain. Saya diajakin ikut tawuran."
"Kenapa harus tawuran?"
"...entahlah Pa, memang seperti itu anak SMA sekarang mungkin.."
"Kalau kalian kalah, gimana?"
"Ngg, balas dendam lagi paling nanti."
"Tawuran lagi?"
"Iya."
"Bisa-bisa sekolah kosong kalau kalian tawuran semua. Terus siapa yang belajar? Yang wanita saja?"
"Iya kali, Pa." (diiyain lagi, begonya saya..)

"..."
Kalau teman kamu yang punya masalah, kenapa kamu harus ikut campur? Jangan suka mencampuri urusan orang, itu tidak baik.."
"Tapi nanti namanya nggak setia kawan, Pa. Bisa-bisa saya dimusuhin deh sama anak-anak.."
"Kamu mau nggak sih ikut tawuran sebenarnya?"
"Malas sih Pa."
"Terus kenapa harus ikut?"
"Ngg, atas dasar pertemanan dan setia kawan Pa."
"Terus kalau teman kamu ngajak terjun ke jurang, kamu mau ikutan?"
"Ngg..."
"Kalau misalnya ada yang menantang kamu berkelahi, berkelahilah dengan jantan sebagai lelaki, satu lawan satu. Tapi tidak boleh ada dendam dari pihak yang kalah, dan masalah kalian selesai. Kamu bisa seperti itu?"
"...mungkin?"
"Mungkin? Papa butuh jawaban ya dan tidak, bukan mungkin."
"...nggak kayanya, Pa."
"Ya sudah, kalau begitu kekerasan tidak akan menyelesaikan masalah. Kecuali ada yang bisa tidak mendendam kalau kalah."
"Oh.."
..."

Terus saya harus bilang apa ke teman saya?"
"Bilang saja, selesaikan masalah kamu sendiri, mau berkelahi kek, panco, main karambol, apapunlah. Kalian boleh mendukung dia, tapi jangan suka ikut campur urusan orang, Nak. Kalian sudah dewasa, bukan anak kecil yang suka penasaran sampai-sampai ikut campur urusan orang."
"Kalau dia marah sama saya Pa? Nanti saya nggak dianggap teman lagi."
"Teman sejati nggak sedangkal itu menilai temannya sendiri."
"..."

"Kalau dia nggak mau tahu, ya kamu tinggal cari saja teman yang lebih banyak lagi, susah amat."
"Tapi saya masih nggak tahu mau ngomong apa ke dia, Pa..."

Papa melipat korannya dan menatap saya tepat di mata. Tatapan yang saya suka. Tidak marah karena pertanyaan saya, tidak tertawa karena pertanyaan saya. Tatapan bijaksana mata seorang ayah untuk anaknya...

* * *

"Saya tidak suka berkelahi dan tidak suka melihat kamu berkelahi. Tapi kamu tetap teman saya. Datanglah kepada saya jika kamu terluka, tangan saya akan selalu terbuka."

Ia berkata di perbatasan nada antara kesal dan tenang,
"Kalau emang itu prinsip lo, gue hargain, jangan sampai lo berantem kaya gue. Mending sekarang lo pulang aja ke rumah, nggak usah nungguin kita lagi deh."

Saya tidak mengerti arti kata-kata itu. Tapi saya sudah siap diteriaki atau dimaki-maki lagi oleh teman-teman yang lain. Tapi ternyata mereka diam saja. Ada tatapan tidak suka dan kecewa, tapi tidak ada yang berbicara. Mereka pergi, saya hanya melihat kepergiannya dari warung rokok di depan sekolah. Lalu kembali menyeruput es teh manis yang belum habis.

Hati saya tidak tenang. Ada perasaan lega karena tidak melakukan sesuatu yang saya suka, diikuti perasaan bersalah karena tidak menjadi teman sebenarnya menurut mereka.
Lagipula, apakah arti teman sebenarnya?

Saya pergi ke ruangan ekskul band. Terkunci. Saya mengambil kuncinya di guru pembimbing ("Mau bersih-bersih studio, Pak!") dan kembali ke sana. Masuk ke dalam ruangan.
Sendirian.

Saya mengambil bass saya yang sengaja saya tinggalkan disitu.
[Memainkan lagu.]
Saya tidak tahu kabar mereka saat itu.
[Mengiringi perasaan sendu.]
Atau mungkin lebih tepatnya, saya tidak mau tahu.

Esok harinya saya dengar kabar, teman saya mati ditikam.
Saya terdiam.
Mungkin Tuhan tertawa ketika perasaan saya remuk redam.
[Benarkah begitu, Tuhan?]


*In memoriam of Al.

<< Home